Selasa, 26 Mei 2015

"Ulama" Pendukung Fitnah Najd dan Tanduk Setan

Ibnu Umar berkata, “Nabi berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam dan Yaman kami.’ Mereka berkata, Terhadap Najd kami.’ Beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah Syam dan Yaman kami.’ Mereka berkata, ‘Dan Najd kami.’ Beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam. Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Yaman.’ Maka, saya mengira beliau bersabda pada kali yang ketiga, ‘Di sana terdapat kegoncangan-kegoncangan (gempa bumi), fitnah-fitnah, dan di sana pula munculnya tanduk setan.’” [HR Bukhari]

Inilah Ulama Wahabi pendukung Serangan Arab Saudi ke YAMAN. Mereka mendukung pembantaian ribuan penduduk Yaman oleh Arab Saudi. Ada pun MUI secara lembaga (bukan Oknum) lewat websitenya menyatakan netral.

Sejumlah tokoh, ulama dan pimpinan ormas Islam, menyambangi kediaman Duta Besar Arab Saudi di Jakarta, Sabtu (11/4). Kehadiran mereka dalam rangka menyatakan dukungan kepada koalisi negara Arab yang dipimpin Saudi untuk menumpas pemberontak Syiah Houthi di Yaman.

Para ulama dan pimpinan ormas Islam itu diterima oleh Dubes Arab Saudi Mustafa Ibrahim Al Mubarak di kediamannya di Jakarta, disaksikan oleh jurnalis dari berbagai stasiun TV, radio, cetak dan media online, termasuk salam-online.com.


Di antara ulama dan pimpinan ormas Islam yang hadir adalah Wakil Ketua Dewan Dakwah Islamiyah (DDII) Indonesia Ustadz Abdul Wahid Alwi, Imam Besar Masjid Istiqlal KH Dr Ali Mustafa Yakub, Ketua Perhimpunan Al Irsyad Ustadz Yusuf Utsman Baisa, Lc, Ketua MUI Pusat KH A Cholil Ridwan, Lc, Ketua Umum PERSIS Prof Dr Maman Abdurrahman, MA, Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Yunahar Ilyas, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM-PBNU) KH DR Cholil Nafis, MA, Anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Pusat Fahmi Salim, Lc, MA, Ketua Umum Rabithah Ulama dan Dai Asia Tenggara Muhammad Zaitun Rasmin, MA, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr Fahmi Hamid Zarkasyi, MA, Ketua Dewan Syariah Kota Solo (DSKS) DR Mu’inudinillah Basri, MA, dan Ketua LPPI Amin Djamaluddin.

- See more at: http://www.arrahmah.com/news/2015/04/12/sejumlah-ulama-dan-pimpinan-ormas-islam-indonesia-nyatakan-dukungan-pada-koalisi-negara-arab-gelar-operasi-di-yaman.html#sthash.0QH1z5mK.dpuf

Minggu, 10 Mei 2015

Benarkah Quraish Shihab Syi'ah?


Ummat sekarang banyak yang meninggalkan dan menghina Ulama macam KH Quraisy Shihab, KH Said Aqil Siradj, dsb. Mereka lebih percaya pada Arrahmah, NahiMunkar dsb yg dikelola oleh bukan ulama. Juga pada Google dan Youtube yang dikelola Yahudi.

Sebagai perbandingan, sikap Quraisy Shihab tidak beda dgn Habib Dr Rizieq Syihab MA:

Ustad Ahmad Sarwat, Lc.

Lebih dari 500 ulama dari 84 negara penandatangan Risalah Amman seperti Syekh Al Buthi, Syekh Al Azhar, Din Syamsuddin, KH Hasyim Muzadi dsb: www.ammanmessage.com


Allah memerintahkan kita untuk tabayyun langsung ke pihak yang difitnah (Al Hujuraat 6) dan Fas'alu Ahli Zikri (Tanya Ulama). Jadi ada 2 alasan di mana kita wajib menanyakan langsung ke pak Quraish apakah dia Syi'ah atau bukan. Bukan cuma membebek pada fitnah kaum khawarij.

Website:
http://quraishshihab.com KH Dr Muhammad Quraish Shihab
https://www.facebook.com/mqshihab FP KH Dr Muhammad Quraish Shihab

BENARKAH QURAISH SHIHAB SYI’AH?
  
Written by Muchlis M Hanafi (Sekjen IAAI Indonesia)
Akhir-akhir ini pertanyaan di atas banyak dialamatkan ke saya. Mereka tahu saya berguru kepada Quraish Shihab dan bekerja di Pusat Studi Al-Qur`an (PSQ) yang didirikannya. Pertanyaan datang bertubi-tubi karena dipicu tulisan dalam kompasislam[dot]com yang mengutip pandangan salah seorang Pimpinan Pusat MUI bahwa Quraish Shihab adalah pendukung setia kelompok sesat Syiah.



Penulis sendiri ragu dengan kebenaran informasi tersebut, apalagi dari seorang ulama yang juga penulis segani. Tetapi terlepas dari benar atau tidaknya statemen tokoh tersebut, dampaknya sangat luar biasa bagi sosok Quraish Shihab dalam pandangan sebagian umat. Quraish Shihab seperti terkena vonis in absentia.

Tudingan Syiah terhadap Quraish Shihab bukan hal baru. Dari dulu sampai sekarang tudingannya sama, hanya pemicunya yang berbeda. Jika pada tahun 1997 dilatari oleh faktor politik, setelah beliau diangkat sebagai Menag di Kabinet Soeharto, saat ini tudingan itu muncul kembali dengan dilatari semakin meningkatnya potensi konflik Sunnah-Syiah di Indonesia, terutama Sunnah yang cenderung ekstrim. Ke depan, potensi itu akan semakin membesar, jika tidak diiringi dengan kesadaran masyarakat tentang keniscayaan perbedaan dan pentingnya persatuan. Kedua kelompok tersebut, dengan dukungan dari negara tertentu, akhir-akhir ini semakin gencar memperluas pengaruh dan dakwahnya di tengah masyarakat Indonesia.

Tulisan ini bukan sebagai pembelaan. Quraish Shihab tidak perlu dibela, karena sosok beliau dengan karya-karya dan pemikirannya sudah membela dirinya sendiri. Tidak ada pernyataannya dalam karya-karya tersebut yang menunjukkan beliau seorang pengikut Syiah. Dalam kesempatan wawancara harian Republika, 16 Februari 2014, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-70, Quraish menyatakan dirinya bukan seorang penganut Syiah, dan meminta kepada siapa pun yang menuduhnya untuk mendatangkan bukti. Silakan baca karya-karyanya, tidak ditemukan ungkapan yang menunjukkan dirinya penganut Syiah. Tidak seorang pun berhak membedah dada orang lain untuk mengetahui isi hatinya. Benar atau tidaknya pengakuan tersebut urusan Quraish dengan Tuhan. Bertahun-tahun mendampingi Quraish Shihab bekerja dengannya, penulis tidak menemukan hal yang aneh dalam keyakinan dan tata cara peribadatan beliau yang berbeda dengan tradisi kebanyakan Ahlussunnah.

Quraish Shihab tidak merasa cemas dan khawatir dengan tudingan miring apa pun terhadap dirinya. Baginya pujian tidak akan membuatnya besar, dan cacian tidak akan membuatnya rendah dan hina. Dari segi dunia, puncak karier dalam berbagai bidang; ilmiah dan profesi, sudah diperoleh. Rezeki pun cukup memadai. Sikapnya terhadap Syiah dan ‘keberaniannya’ untuk mengajak Sunnah dan Syiah bergandengan tangan semata-mata karena tuntutan amanah ilmiah untuk menyampaikan kebenaran dan panggilan jiwa untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan.

Keniscayaan Perbedaan, Keharusan Persatuan

Dalam buku Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Quraish menegaskan bahwa perbedaan pandangan keagamaan tidak bisa dihindarkan, bahkan menjadi keniscayaan. Keragaman pandangan merupakan cermin bagi dinamika intelektualitas dan rasionalitas Islam sebagai agama yang bersifat universal dan responsif terhadap berbagai perkembangan. Keberadaan mazhab-mazhab itu juga memperkaya khazanah peradaban Islam dengan berbagai alternative pemikiran yang dapat memberikan kemudahan dan pilihan bagi umat dalam beragama. Dalam konteks ini perbedaan dapat menjadi rahmat. Tetapi ketika perbedaan itu dibawa ke ranah yang sempit dengan balutan fanatisme yang berlebihan, sehingga melahirkan sikap saling mem-bid`ah-kan, merasa paling benar, dan mengkafirkan, sejarah pemikiran Islam diwarnai dengan pertumpahan darah yang mencabik persatuan umat.

Penggalan judul buku Quraish, “... Bergandengan Tangan!” (dengan tanda seru), menunjukkan keharusan persatuan dalam keragaman. Salah satu cara mengelola perbedaan adalah dengan membuka pintu dialog untuk mendekatkan pemahaman-pemahaman yang ada. Bila itu tidak bisa dilakukan, maka dengan mendekatkan dan meningkatkan keharmonisan di antara pengikut pemahaman yang berbeda. Mendekatkan, karena memang sulit, bila tidak ingin berkata mustahil, untuk menyatukannya. Melalui dialog akan timbul sikap menghormati dan toleransi. Selanjutnya Quraish bertanya, “Mungkinkah?”. Jawabannya berpulang kepada kita. Meski berbeda kita perlu optimis dapat mewujudkan persatuan umat. Optimisme itu cukup beralasan jika dilihat bahwa sisi persamaan antara mazhab atau aliran yang ada sangatlah banyak, terutama dalam hal pokok ajaran, bila dibanding dengan perbedaan.

Dalam konteks hubungan antara Sunnah dan Syiah, persamaan itu dapat dilihat pada keimanan terhadap pokok-pokok akidah Islam (tauhid, kenabian dan kebangkitan), komitmen terhadap pokok-pokok ajaran dan rukun Islam serta komitmen terhadap Al-Qur`an dan hadis sebagai sumber ajaran. Bila terhadap penganut agama yang berbeda saja kita diminta untuk berdialog dan berdebat dengan cara yang terbaik maka dengan sesama yang mengucap dua kalimat syahadat tentu lebih sangat dianjurkan dan harus bisa kita lakukan.

Perbedaan antara Sunnah dan Syiah diperbesar oleh faktor politik kekuasaan, padahal keduanya sama-sama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menjalin hubungan dengan Islam melalui keyakinan terhadap kitab suci Al-Qur`an dan sunnah Rasul. Dalam hal pokok ajaran keduanya sama. Perbedaan hanya pada persoalan teknis (masâ`il fiqhiyyah), seperti perbedaan yang ada antara mazhab Hanafi dengan Maliki atau Syafi`i. Tentu tanpa mengabaikan perbedaan yang prinsipil antara keduanya dalam hal kepemimpinan (Imâmah).

Atas dasar kesamaan ini, di akhir tahun empat puluhan abad ke-20, para ulama Al-Azhar yang merepresentasikan kelompok sunnah dan beberapa ulama dari kelompok Syiah menggagas forum dialog untuk mendekatkan kedua mazhab tersebut yang dinamakan Lajnat al-Taqrîb Bayna al-Madzâhib al-Islâmiyyah. Sebagai puncaknya adalah pengakuan Syiah sebagai bagian dari mazhab-mazhab Islam yang ada dalam fatwa Syeikh Mahmud Syaltout. Fatwa tersebut berbunyi, “Sesungguhnya mazhab Ja`fariyah, yang dikenal dengan Syi’ah Imamiyah Itsna `Asyariyah adalah mazhab yang diperbolehkan secara syar`i untuk beribadah dengannya seperti mazhab-mazhab ahlusunnah lainnya. Umat Islam sepatutnya mengetahui itu dan tidak terjebak pada fanatisme secara berlebihan/ tidak tepat terhadap mazhab tertentu. Agama Allah dan syariat tidak tunduk/ mengikuti satu mazhab tertentu, atau terbatas pada mazhab. Semua berijtihad dan akan diterima di sisi Allah”.

Sampai saat ini, dalam kajian fiqih perbandingan (fiqh muqâran) di Universitas Al-Azhar mazhab Syiah Imamiyah dianggap sebagai salah satu mazhab fiqih yang mu`tabar selain mazhab Hanafi, Maliki, Syafi`i, Hambali, Zhahiriyah, Zaidiyah dan Ibadhiyah. Bahkan melalui Kementerian Wakaf, para ulama Al-Azhar menyusun ensiklopedia fiqih Islam bersumberkan delapan mazhab tersebut.

Sikap Quraish terhadap Syiah tidak berbeda dengan sikap para guru-gurunya, ulama Al-Azhar, yang menjunjung tinggi dan menghormati perbedaan tanpa harus menyetujuinya, apalagi mengamalkannya. Sebagai seorang akademisi, Quraish Shihab cukup kritis terhadap beberapa ajaran Syiah. Kejujuran Ilmiah menuntutnya untuk menyampaikan ajaran Syiah dan Sunnah apa adanya; dengan kelebihan dan kekurangannya, dengan persamaan dan perbedaannya.

Anda boleh saja tidak setuju, seperti ditunjukkan oleh beberapa orang dari pesantren Sidogiri Jawa Timur dengan menulis buku yang membantah karya Quraish Shihab. Tetapi itu tidak berarti pendapat Anda lah yang benar. Saya menilainya itu hanya beda pandangan yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang pendidikan, lingkungan dan rujukan yang digunakan. Setahu penulis, Quraish Shihab banyak menggunakan rujukan mutakhir selain yang klasik. Bagi Quraish Shihab, pemikiran di kalangan ulama Syiah cukup dinamis dan sangat beragam, seperti halnya di kalangan Sunnah, sehingga kita tidak bisa menilai mereka dengan cara menggeneralisir.

Syiah Zaidiyah dan Imamiyah, Muslimkah?

Dalam sebuah deklarasi yang dikeluarkan oleh Konferensi Islam Internasional di Amman Yordania 4 - 6 Juli 2005, dan ditegaskan kembali dalam keputusan dan rekomendasi Sidang ke 17 Majma al-Fiqh al-Islami (lembaga di bawah Organisasi Konferensi Islam/OKI) di Yordania 24-26 Juni 2006 dinyatakan;

Setiap yang mengikuti salah satu dari empat mazhab Ahlussunnah wal jamaah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali), mazhab Ja`fari, Zaidiyah, Ibadhiyah dan Zhahiriyah adalah Muslim yang tidak boleh dikafirkan. Demikian pula tidak boleh mengkafirkan kelompok Muslim lain yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, rukun iman, menghormati rukun Islam dan tidak mengingkari pokok-pokok ajaran agama (al-ma`lûm min al-dîn bi al-dharûrah).
Yang menyatukan mazhab-mazhab yang ada sangatlah banyak dibanding perbedaan. Para penganut mazhab delapan sepakat prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Semua beriman kepada Allah yang Esa, Al-Qur`an adalah kalamullah, Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul untuk seluruh umat manusia. Mereka juga sepakat rukun Islam yang lima; syahadat, shalat, zakat, puasa Ramadhan dan haji. Demikian juga rukun iman; percaya kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir dan qadar yang baik dan buruk. Perbedaan ulama para pengikut mazhab adalah perbedaan dalam hal teknis (furu’iyyah), bukan yang prinsipil, dan itu mendatangkan rahmah.


Pernyataan yang ditandatangani oleh banyak ulama dunia Islam itu dapat dikatakan menjadi sebuah konsensus (ijmâ`) umat Islam di era modern sebagai upaya membangun pijakan dalam mewujudkan kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan. Pernyataan tersebut bermula dari keinginan Raja Abdullah dari Yordania yang telah menggagas rumusan pesan damai Islam melalui Amman Message pada tahun 2004.

Saling memvonis kafir (takfîr) dan saling menyesatkan karena perbedaan pandangan keagamaan antara satu kelompok dengan lainnya sampai saat ini masih sering kita saksikan. Lebih-lebih antara kelompok Syi’ah, wahhâbiyah dan shûfiyah. Tentu sangat disayangkan jika ada kelompok umat Islam yang terlalu mudah mengafirkan orang atau institusi hanya karena berbeda pandangan dalam beberapa persoalan akidah atau fiqih. Padahal Al-Qur`an mengingatkan kita agar tidak cepat-cepat menghukumi orang lain kafir. “Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ”salam” kepadamu, “Kamu bukan seorang yang beriman,” (lalu kamu membunuhnya) (QS. Al-Nisa : 94). Rasulullah meningatkan, “Jika ada seseorang yang melemparkan tuduhan fasiq dan kafir kepada orang lain, dan ternyata tuduhan itu tidak benar, maka tuduhan itu akan kembali kepada dirinya” (HR. Al-Bukhari).

Mengingat besarnya dampak yang diakibatkan oleh takfîr para ulama Islam mengingatkan agar kita tidak cepat-cepat melabelkan kafir kepada seseorang atau kelompok orang atau institusi. Imam al-Ghazali mengingatkan, “sedapat mungkin kita berhati-hati dalam mengafirkan, sebab menghalalkan darah dan harta orang yang melakukan shalat ke kiblat, yang menyatakan secara tegas dua kalimat syahadat adalah sebuah kesalahan. Kesalahan yang berakibat membiarkan seribu orang kafir hidup lebih mudah menanggungnya daripada melakukan kesalahan yang berakibat terbunuhnya seorang Muslim”.

Takfîr hanya boleh dialamatkan kepada yang menyatakan kekufurannya secara terang-terangan, menjadikannya sebagai keyakinan/ agama, mengingkari dua kalimat syahadat, dan keluar dari agama Islam. Ulama Al-Azhar, Syeikh Muhammad Abduh juga mengingatkan, “Salah satu pokok ajaran Islam yaitu menghindari takfir. Telah masyhur di kalangan ulama Islam satu prinsip dalam agama, yaitu bila ada ucapan seseorang yang mengarah kepada kekufuran dari seratus penjuru, dan mengandung kemungkinan iman dari satu arah, maka diperlakukan iman didahulukan, dan tidak boleh dihukumi kafir”[1].

Hambatan Dialog dan Taqrîb

Upaya mendekatkan dan membangun dialog itu bukan tanpa hambatan. Dalam konferensi dialog antar-mazhab (Sunnah-Syiah) yang digelar di Doha awal tahun 2007 mengemuka beberapa hambatan tersebut, antara lan; beban sejarah yang cukup panjang, kecurigaan masing-masing kelompok terhadap lainnya, adanya upaya menyebarluaskan paham Syiah di tengah komunitas Sunnah, literature masing-masing kelompok yang menjelekkan kelompok lainnya, dan masih banyak lainnya. Oleh karenanya, dialog yang telah terbangun selama ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. Bahkan cenderung menguntungkan salah satu pihak.

Syeikh Ahmad Thayyeb, Rektor Universitas Al-Azhar (saat ini Grand Syeikh Al-Azhar), dalam paparannya saat itu mengkhawatirkan masa depan dialog dengan masih adanya upaya dari kelompok Syiah untuk menyebarluaskan pahamnya di Mesir yang menganut paham Sunnah. Buku-buku yang mencaci para Sahabat yang sangat dihormati kelompok Sunnah masih banyak ditemukan. Selama ini, menurut Thayyeb, kelompok Sunnah sudah terlalu banyak ‘mengalah’. Jika upaya tersebut masih berlanjut bukan tidak mungkin kelompok Sunnah tidak akan melanjutkan proses dialog.

Konferensi Doha yang sempat penulis ikuti mewakili Kementerian Agama RI menghasilkan deklarasi antara lain:

Menegaskan pentingnya melanjutkan usaha untuk saling mendekat dan saling pengertian antara mazhab dan aliran dalam Islam dan berupaya menghilangkan rintangan yang menghalangi terciptanya persatuan umat.
Seluruh ulama peserta konferensi yang mewakili kelompok Sunnah, Syiah Imamiyah, Zaidiyah dan Ibadhiyyah menolak dengan tegas segala bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap keluarga Rasulullah shallallâhu `alayhi wasallam, para sahabat dan isteri-isteri Rasululullah. Mereka juga mengajak seluruh pengikut mazhab dan aliran dalam Islam untuk mengormati tempat-tempat suci masing-masing kelompok dan memelihara upaya saling menghormati dalam dialog dan kegiatan dakwah.
Mengajak seluruh tokoh dan pemuka agama dari kelompok Sunnah dan Syiah untuk menjaga batas-batas dalam berinteraksi dengan pihak lain dan tidak memperkenankan untuk menyebarkan mazhab Syiah di tempat-tempat kelompok Sunnah, atau menyebarkan paham Sunnah di tempat-tempat kelompok Syiah agar tidak terjadi bentrokan dan perpecahan di kalangan umat Islam.
Konferensi menyerukan kepada seluruh penguasa dan kepala pemerintahan negara-negara Arab dan Islam untuk mendukung segala upaya para ulama dan pemikir untuk mewujudkan persatuan dan menetapkan kebijakan dialog antara mazhab Islam.
Membentuk Lembaga Riset Internasional yang menghimpun para ulama dari kelompok Sunnah, Syiah (Imamiyyah), Zaidiyyah dan Ibadhiyyah yang akan mengukuhkan konsep taqrîb, memonitoring segala rintangan dan celah kekurangan dan memberikan solusi yang tepat. Konferensi mengusulkan agar lembaga tersebut berpusat di Doha.
Memperbaiki kurikulum pengajaran dengan sesuatu yang mendukung konsep persatuan dan taqrîb (upaya mendekatkan jarak) antara mazhab dan aliran dalam Islam.
Sebesar apa pun hambatan yang ada dialog tetap harus dibangun dengan niat baik, dalam suasana keterbukaan, saling menghormati dan saling percaya. Dialog diperlukan untuk membahas agenda bersama mewujudkan kepentingan yang lebih besar bagi umat. Dialog bukan untuk menyatukan atau menyamakan pandangan, tetapi untuk saling memahami dan menghormati. Untuk itu kode etik dan aturan penyebaran paham kelompok masing-masing perlu disepakati. Semangat ini yang terus digelorakan oleh Quraish Shihab. Semoga kerukunan yang diidamkan segera dapat terwujud. Demikian, wallahua`lam.


http://www.waag-azhar.or.id/index.php/2014-04-16-08-29-52/artikel-keislaman/113-benarkah-quraish-shihab-syi-ah

Debat Syekh Al Buthi vs Albani


Inilah sebab kenapa murid2 Syekh Albani dendam kepada Syekh Al Buthi yang pernah mengalahkan Albani debat. Albani yg jadi tukang servis jam hingga umur 20 tahun kemudian jadi "Ahli Hadits" setelah membaca berbagai buku di perpustakaan (tanpa guru) tidak berdaya menjawab pertanyaan Syekh Al Buthi. Jawabannya berbeda2 setelah Syekh Al Buthi memaparkan argumen2 dan perumpamaan. Syekh Al Buthi kemudian syahid dibom saat mengajar di Masjid oleh Wahabi.

Belajar mazhab Syafi'ie secara tuntas saja sulit. Apalagi jika harus belajar 4 mazhab hingga selesai dan membandingkannya dgn Al Qur'an dan Hadits mana yang paling benar. Berapa banyak sih dari kita yang sudah membaca Kitab Al 'Umm Imam Syafi'ie hingga tuntas? Berapa banyak yang sudah membaca semua Qoul Qodim dan Qoul Jadid Imam Syafi'ie? Berapa banyak yang sudah baca kitab2 dari seluruh Imam Mazhab hingga tuntas? Jadi pendapat Albani yang mewajibkan mempelajari 4 mazhab kemudian memilih mana yang paling benar itu tidak logis.


Habib Rizieq menjelaskan, para ulama pun jika disuruh memilih mana yang paling afdhol pasti akan beda2. Sebagian memilih Mazhab Syafi'ie, sebagian Maliki, sebagian Hambali, dsb. Hingga saat ini belum ada 1 Mazhab baru hasil kompilasi manusia akhir zaman ini:

Dialog Panjang Syeikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi & Syeikh Al-Albani
Sabtu 11 Jamadilawal 1434 / 23 Maret 2013 13:23


Laporkan iklan ?
al buthi-al albani ADA sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania.


Laporkan iklan?
Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”

Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”

Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”

Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”

Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.

Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”

Al-Albani menjawab: “Ya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”

Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”

Al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”

Al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?”

Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”

Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”

Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”

Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wata’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang dating dari Nabi Saw. secara mutawatir.”

Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab asy-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam asy-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”

Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”

Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”

Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan menjawabnya.

Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah. Tentu saja mengikuti madzhab para ulama salaf, lebih menenteramkan bagi kaum Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan keshalehan ulama salaf jelas diyakini melebihi orang-orang sesudah mereka. [pustakamuhibbin]
https://www.islampos.com/dialog-panjang-syeikh-said-ramadhan-al-buthi-syeikh-al-albani-49256/

Orang tanpa guru menterjemahkan Al Qur'an dan Hadits secara kaku, Allah punya wajah, 2 tangan yang semuanya kanan, ada jarinya, punya kaki, telapak kaki, betis, dsb. Jadi mirip Tuhan Bapa ya? Dari website Wahabi. Padahal Tangan Allah terbelenggu itu kiasan yg artinya kikir sedang tangan terbuka itu artinya tidak kikir. Namun surat Al Maa-idah 64 itu diterjemahkan apa adanya oleh Wahabi. Jadinya Allah bisa seperti yg di foto ini.... “Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan dengan dalil firman-Nya : “Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64). Dia juga memiliki wajah dengan dalil firman Allah : “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah” (QS. Al-Qashaash : 88) dan juga firman-Nya : “Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dia juga mempunyai kaki dengan dalil sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Hingga Rabb (Allah) ‘azza wa jalla meletakkan kaki-Nya padanya…” (HR. Bukhari dan Muslim) yaitu pada neraka” [13] 
https://syaikhulislam.wordpress.com/2010/07/02/506/

Beda dgn Sifat 20 yang menekankan sifat Allah itu Wujud/Ada, Qidam/Awal, Hayat/Hidup, Wahdaniyah / Esa, Baqo/Kekal dsb.

Wahabi justru mengajarkan Allah punya wajah, kaki, tangan, betis, dsb. Mujassimah.

Aqidah Mujassimah Wahabi: Allah Punya Wajah, Tangan, Kaki, dsb


Inilah Aqidah Mujassimah Wahabi: Allah Punya Wajah, Tangan, Kaki, dsb. Ini karena menterjemahkan Al Qur'an dan Hadits secara kaku dan meninggalkan tafsiran Jumhur Ulama selaku pewaris Nabi. Mereka tidak memahami Balaghoh, Gaya Bahasa, dan perumpamaan-perumpamaan Allah.

Ini dari Website Wahabi bahwa Allah punya WAJAH: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat yang terbukti keberadaannya berdasarkan dalil Al-Kitab, As-Sunnah dan kesepakatan ulama salaf.” Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
http://muslim.or.id/aqidah/apakah-allah-memiliki-wajah.html

“Kursi adalah tempat kedua kaki (Allah), dan ‘Arsy (singgasana) tidak ada yang mengetahui ukurannya selain Allah Ta’ala.” (Hadits mauquf riwayat Al-Hakim dan dishahihkan Adz-Dzahabi dan Al-Albani)  
http://muslim.or.id/aqidah/sifat-istiwa-allah-di-atas-arsy.html


Coba baca ayat Kursi (Al Baqarah ayat 255) pada Kitab Terjemah Al Qur'an terbitan Kerajaan Arab Saudi. Lihat catatan kaki yang ada di bawah. Di situ anda akan tahu bahwa menurut aqidah Wahabi, Allah punya kaki. Saat ini saya punya 2 kitab terjemah tsb. Sampulnya coklat seperti di atas dgn tebal sekitar 2 ruas jari tengah.

Dari website Wahabi. Padahal Tangan Allah terbelenggu itu kiasan yg artinya kikir sedang tangan terbuka itu artinya tidak kikir. Namun surat Al Maa-idah 64 itu diterjemahkan apa adanya oleh Wahabi. Jadinya Allah bisa seperti yg di foto ini.... 
“Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan dengan dalil firman-Nya : “Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64). Dia juga memiliki wajah dengan dalil firman Allah : “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah” (QS. Al-Qashaash : 88) dan juga firman-Nya : “Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dia juga mempunyai kaki dengan dalil sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Hingga Rabb (Allah) ‘azza wa jalla meletakkan kaki-Nya padanya…” (HR. Bukhari dan Muslim) yaitu pada neraka” [13] 
https://syaikhulislam.wordpress.com/2010/07/02/506/


Ini tulisan dari website Wahabi bahwa Allah punya 2 tangan dan kedua tangan itu kanan semua. Bahkan lebih tegas lagi disebutkan bahwa Tangan Allah keduanya adalah Kanan, yang berarti tidak mungkin dapat dita’wilkan pada “kekuatan” atau “kenikmatan”, karena keduanya tidak bisa disebut dengan “kanan”.

(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 43/Th. II tgl 12 Dzulqo’dah 1425 H/24 Desember 2004 M, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli “Mengimani bahwa Allah Ta’ala memiliki Tangan”. Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp di bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief Subekti, Agus Rudiyanto, Zaenal Arifin; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Arif Subekti telp. (0231) 481215.)
http://salafy.or.id/blog/2005/02/25/

Di antara sifat yang tetap bagi Allah adalah: Kaki

Dalil hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, no. 6661 dan Mulsim, no. 2848, dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

لَا تَزَالُ جَهَنَّمُ تَقُولُ هَلْ مِنْ مَزِيدٍ حَتَّى يَضَعَ رَبُّ الْعِزَّةِ فِيهَا قَدَمَهُ فَتَقُولُ قَطْ قَطْ وَعِزَّتِكَ وَيُزْوَى بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ

"(Neraka) jahanam masih saja berkata, 'apakah ada tambahan' hingga akhirnya Tuhan Pemiliki Kemuliaan meletakkan kaki-Nya. Kemudian dia berkata, cukup, cukup, demi kemuliaan-Mu, lalu. Lalu neraka satu sama lain saling terlipat."

Imam Bukhari, no. 4850 dan Muslim, no. 2847, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata, "Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

تَحَاجَّتْ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ فَقَالَتْ النَّارُ أُوثِرْتُ بِالْمُتَكَبِّرِينَ وَالْمُتَجَبِّرِينَ وَقَالَتْ الْجَنَّةُ مَا لِي لَا يَدْخُلُنِي إِلَّا ضُعَفَاءُ النَّاسِ وَسَقَطُهُمْ قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلْجَنَّةِ أَنْتِ رَحْمَتِي أَرْحَمُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي وَقَالَ لِلنَّارِ إِنَّمَا أَنْتِ عَذَابِي أُعَذِّبُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مِلْؤُهَا فَأَمَّا النَّارُ فَلَا تَمْتَلِئُ حَتَّى يَضَعَ رِجْلَهُ فَتَقُولُ قَطْ قَطْ فَهُنَالِكَ تَمْتَلِئُ وَيُزْوَى بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ وَلَا يَظْلِمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ خَلْقِهِ أَحَدًا وَأَمَّا الْجَنَّةُ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنْشِئُ لَهَا خَلْقًا ).

'Surga dan neraka saling berdebat. Neraka berkata, 'Aku mendapatkan orang-orang yang sombong dan bengis.' Lalu surga berkata, 'Mengapa saya hanya dimasuki oleh orang-orang yang lemah dan rendah.' Allah Tabaraka wa ta'ala berkata kepada surga, 'Engkau adalah rahmat-Ku, denganmu aku rahmati hamba-Ku yang aku suka.' Lalu Dia berkata kepada neraka, 'Engkau adalah azab-Ku, denganmu aku mengazab hamba-Ku yang aku suka. Setiap dari keduanya akan penuh. Adapun neraka tidak akan penuh kecuali setelah Allah meletakkan kaki-Nya, baru dia berkata, 'cukup', 'cukup' maka ketika itu neraka akan penuh dan neraka satu sama lain akan terlipat, dan Allah tidak akan menzalimi makhluknya satupun. Adapun surga Allah akan ciptakan makhluk untuknya."

Dalam redaksi Muslim disebutkan, "Adapun neraka, tidak penuh kecuali setelah dia meletakkan kaki-Nya di atasnya."

Maka hal ini menunjukkan ditetapkannya kaki bagi Allah Ta'ala.

Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata,

الكرسي موضع القدمين ، والعرش لا يقدر أحد قدره

"Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsya tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya."

(Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab 'At-Tauhid' (1/248, no. 154) Begitu pula Ibnu Abi Syaibah dalam 'Al-Arasy' (61), Ad-Darimi dalam 'Ar-Radd  Alal-Muraisy', Abdullah bin Imam Ahmad dalam 'As-Sunah', Al-Hakim dalam 'Al-Mustadrak' (2/282). Dia (Al-Hakim) menyatakan shahih berdasarkan syarat kedua syaikh (Bukhari dan Muslim) serta disetujui oleh Adz-Dzahabi, dishahihkan oleh Al-Albany dalam 'Mukhtashar Al-'Uluw', hal. 102, Ahmad Syakir dalam 'Umdatu Tafsir' (2/163)
http://islamqa.info/id/166843

Itulah akibat memahami Al Qur'an dan Hadits secara kaku. Cuma di kerongkongan. Dan meninggalkan Jumhur Ulama yg merupakan Pewaris Nabi yg paham Al Qur'an dan Hadits: 

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al ‘Ankabut:43)

Tuhan juga menegaskan hanya dengan ilmulah orang bisa mendapat petunjuk Al Qur’an.

“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat2 yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu” (Al Ankabut:49)

Dalam Kitab Ihya ‚Uluumuddiin susunan Imam Al Ghazali disebut bahwa Nabi berkata: „Di akhirat nanti tinta ulama ditimbang dengan darah para syuhada. Ternyata yang lebih berat adalah tinta ulama!“

Nabi Muhammad SAW juga sangat menghargai orang yang berilmu.

“Ulama adalah pewaris para Nabi” Begitu sabdanya seperti yang dimuat di HR Abu Dawud.

Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/2013/05/27/menghormati-dan-mengikuti-ulama-pewaris-nabi/

Nabi sudah menjelaskan pada kita soal FITNAH. Fitnah itu datang dari Najd tempat lahir Muhammad bin Abdul Wahhab. Khawarij muncul dari Bani Tamim sukunya MBAW: 

Ibnu Umar berkata, “Nabi berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam dan Yaman kami.’ Mereka berkata, Terhadap Najd kami.’ Beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah Syam dan Yaman kami.’ Mereka berkata, ‘Dan Najd kami.’ Beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam. Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Yaman.’ Maka, saya mengira beliau bersabda (Najd) pada kali yang ketiga, ‘Di sana (Najd) terdapat kegoncangan-kegoncangan (gempa bumi), fitnah-fitnah, dan di sana pula munculnya tanduk setan.’” [HR Bukhari]

Hadis riwayat Sahal bin Hunaif ra.: Dari Yusair bin Amru, ia berkata: Saya berkata kepada Sahal: Apakah engkau pernah mendengar Nabi saw. menyebut-nyebut Khawarij? Sahal menjawab: Aku mendengarnya, ia menunjuk dengan tangannya ke arah Timur, mereka adalah kaum yang membaca Alquran dengan lisan mereka, tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama secepat anak panah melesat dari busurnya. (Shahih Muslim No.1776)