Seorang Hujjatul Islam, seperti Imam Al Ghazali, menguasai 300.000 hadits. Bayangkan jumlah hadits sekarang jika digabung tidak sampai 100.000. Toh Imam Al Ghazali menyatakan bahwa tidak bisa lagi di zamannya orang membuat mazhab Fiqih karena jumlah hadits yang dikuasai tidak mencukupi.
Mengenal Gelar Ahli Hadits
Para Ulama telah menetapkan kriteria yang ketat agar hanya benar-benar ‘orang yang memang memenuhi kriteria sajalah’ yang layak menyadang gelar ini seperti yang diungkapkan oleh Imam Sakhowi tentang siapa Ahli Hadits (muhaddits) itu sebenarnya?
Para Imam Hadits mendapat gelar keahlian dalam bidang Imam Hadits sesuai dengan keahlian, kemahiran, dan kemampuan hafalan ribuan Hadits beserta ilmu-ilmunya. Gelar keahlian itu ialah :
{ أمير المؤمنين }Amirul Mu’miniin fil Hadits
{ الحاكم }Al-Hakim
Al-Hakim yaitu, orang yang menguasai seluruh ilmu-ilmu hadits, sehingga tidak ada yang tertinggal darinya.Yaitu, suatu gelar keahlian bagi imam-imam hadits yang menguasai seluruh hadits yang marwiyah (diriwayatkan), baik matan maupun sanadnya dan mengetahui ta’dil (terpuji) dan tarjih (tercelanya) rawi-rawi. Setiap rawi diketahui sejarah hidupnya, perjalanannya, guru-guru dan sifat-sifatnya yang dapat diterima maupun yang ditolak. Ia harus dapat menghafal hadits lebih dari 300.000 hadits beserta sanadnya. Para muhadditsiin yang mendapat gelar ini antara lain : Ibnu Dinar (meninggal 162 H).al-Laits bin Sa’ad.Seorang mawali yang menderita buta di akhir hayatnya meninggal 175 H).Imam Malik (179).dan Imam Syafii (204 H).
{ الحجّة }Al-Hujjah
Yaitu, gelar keahlian bagi para Imam yang sanggup menghafal 300.000 hadits,baik matan, sanad, maupun perihal si rawi tentang keadilannya, kecacatannya, biografinya (riwayat hidupnya). Para muhadditsiin yang mendapat gelar ini antara lain ialah :Hisyam bin Urwah (meninggal 146 H).Abu hudzail Muhammad bin al-Walid (meninggal 149 H).dan Muhammad Abdullah bin Amr (meninggal 242 H).
{ الحافظ }Al-Hafizh
Ialah gelar untuk ahli hadits yang dapat menshahihkan sanad dan matan hadits dan dapat men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan rawinya. Seorang al-hafidh harus menghafal hadits-hadits shahih, mengetahui rawi yang waham (banyak purbasangka), illat-illat hadits dan istilah-istilah para muhadditsiin. Menurut sebagian pendapat, al-hafidh itu harus mempunyai kapasitas hafalan 100.000 hadits. Para muhadditsiin yang mendapat gelar ini antara lain : al-Iraqi, Syarifuddin ad-Dimyathi.Ibnu Hajar al-Asqalani, dan Ibnu Daqiqi al-’Iegd.
{ المحدّث }Al-Muhaddits
Menurut muhadditsiin-muhadditsiin mutaqaddimin, al-hafidh dan al-muhaddits itu searti. Tetapi, menurut muta’akhiriin, al-hafidh itu lebih khusus daripada al-muhaddits. Kata at-Tajus Subhi, “al-muhaddits ialah orang yang dapat mengetahui sanad-sanad, illat-illat, nama-nama rijal (rawi-rawi), ‘ali (tinggi), dan naazil (rendah)-nya suatu hadits, memahami kutubus sittah, Musnad Ahmad, Sunan al-Baihaqi, Majmu Thabarani, dan menghafal hadits sekurang-kurangnya 100 hadits. Muhadisin yang mendapat gelar ini antara lain : Atha’ bin Abi Rabbah (wafat 115 H).Ibnu Katsir dan Imam az-Zabidi
{ المسند } Al-Musnid
Yaitu, gelar keahlian bagi orang yang meriwayatkan sanadnya, baik menguasai ilmunya maupun tidak. al-musnid juga disebut dengan at-Thalib, al-Mubtadi’, dan ar-Rawi.
Ulama yang telah mencapai Gelar – gelar tersebut
Guru Mulia Alhabib Umar bin Hafidh telah mencapai derajat Al-hafidh dan Al-musnid, di Indonesia yg mencapai derajat Al Hafidh adalah almarhum Al Hafidh Alhabib Abdullah bin Abdulqadir Balfaqih, ALmarhum Alhabib Salim bin jindan, Almarhum Alhafidh Al Musnid ALhabib Ali bin Abdurrahman ALhabsyi kwitang.Gelar Alhafidh, ribuan dimasa para Imam Imam madzhab hingga tak terdata, dan kini hanya tinggal beberapa orang saja.
Diatas itu adalah Hujjatul Islam, diantaranya Imam Ghazali, Imam Nawawi, Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy, dan banyak lagi.
Diatas itu adalah para Imam Muhadditsin, puluhan jumlahnya, mereka adalah para pengumpul hadits, dan dari puluhan itu terpilihlah 7 besar, yg dikenal dengan nama Imamussab’ah (Imam yg tujuh), yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Dawud, Imam Attirmidziy, Imam Annasai, Imam Ibn Majah, Imam Muslim dan Imam Bukhari.
Tentunya Imam Muhaddits puluhan jumlahnya, diantaranya Imam Daruqutni, Imam Hakim, Imam Baihaqiy dll, namun derajat riwayat hadits mereka kalah kuat oleh Imam tujuh, dikarenakan kejelian Imam Tujuh atas periwayat periwayat hadits.
Dari Imam Tujuh ini disaring lagi menjadi enam Imam saja, dikenal dg nama Kutubussittah, yaitu 7 imam diatas namun gugur Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ahmad bin Hanbal adalah pada peringkat ketujuh, yg terendah dari 7 imam tersebut, padahal ia hafal 1 juta hadits dg sanad dan hukum matannya, lalu kalau Imam yg hafal 1 juta hadits ini sudah diperingkat ketujuh, maka bagaimana kedahsyatan 6 imam diatasnya?, dan dari 6 Imam ini disaring lagi menjadi dua bagian, yaitu kutubul Arba’ah, yaitu 4 imam : Imam Nasai, Imam Tirmidziy, Imam Ibn Majah, dan Imam Abu Dawud., diatas empat imam ini adalah dua Imam besar yg digelari Syaikhain, (dua maha guru) yaitu Imam Muslim dan Imam Bukhari, dan dua kitab riwayat hadits mereka disebut Shahihain. Dan dari dua Maha Guru ini maka yg tertinggi adalah Imam Bukhari, (Muhammad bin Ismail bin Bardizbah Al Bukhari)
Ketika Imam Muslim dan Imam Bukhari hidup sezaman, maka orang orang saling ingin tahu mana diantara mereka yg lebih jaya dalam ilmu hadits, maka para ahli hadits berkata : Jika kita menemukan masalah dalam periwayat hadits, sudah pasti masalah itu sudah terjawab oleh Imam Muslim, dan jika kita berpuluh puluh tahun memperdalam hadits, belum akan mampu mengejar keluasan ilmu Imam Muslim., suatu hari Imam Muslim mendapat satu kendala dalam masalah hadits yg tak ia temukan jawabannya, ia sudah merasa mustahil ada seorang pun yg tahu jawabannya, maka orang orang menyarankannya kunjung ke Bukhara, yaitu kepada Imam Bukhari, ketika Imam Muslim sampai, dan menanyakan masalah yg tak pernah bisa terjawab oleh ulama dimasa itu, maka Imam Bukhari menjawabnya dg lancar dan mudah bagaikan mudahnya orang membaca surat Al Ikhlas.., maka menyungkurlah imam muslim di kaki Imam Bukhari sambil menangis dan berkata : Izinkan aku mencium kedua kakimu wahai Raja Ahli Hadits.. (Sayyidul Muhadditsin)
Sebagaimana Imam Bukhari sudah hafal 600 ribu hadits dg sanad dan hukum matannya pada usia 16 tahun, dan suatu saat orang mengeluh padanya tentang suatu masjid disuatu wilayah yg siapa saja orang asing masuk kesana maka ia akan dihujani pertanyaan tentang dalil dalil shalat serta rukun2nya, maka Imam Bukhari berkata : Jika aku sampai kepada mereka, akan kukeluarkan 10 ribu hadits shahih dalam Bab shalat saja, semoga mereka bisa berubah dari kejahatannya itu.
Imam Syafii adalah Guru dari Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Malik adalah guru dari Imam Syafii, dan Imam Malik hidup sezaman dg Imam Hanafi, dan keduanya berguru kepada Imam Nafi, yg langsung berjumpa dg para sahabat Rasul saw, dan tentunya para sahabat Rasul saw dari Rasulullah saw.
Siapakah yang berhak menyandang Muhadits ??
“Menurut sebagian Imam hadits, orang yang disebut dengan Ahli Hadits (Muhaddits) adalah orang yang pernah menulis hadits, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan rihlah (perjalanan) keberbagai tempat untuk, mampu merumuskan beberapa aturan pokok (hadits), dan meng- komentari cabang dari Kitab Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan. Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi -pent) maka tidak diingkari bahwa dirinya adalah ahli hadits. Tetapi jika ia sudah mengena- kan jubah pada kepalanya, dan berkumpul dengan para penguasa pada masa- nya, atau menghalalkan (dirinya memakai-pent ) perhiasan lu’lu (permata-pent) dan marjan atau memakai pakaian yang berlebihan (pakaian yang berwarna-warni -pent). Dan hanya mempelajari hadits Al-Ifki wa Al-Butan. Maka ia telah merusak harga dirinya, bahkan ia tidak memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak pantas menyandang gelar seorang Muhaddits bahkan ia bukan manusia. Karena dengan kebodohannya ia telah memakan sesuatu yang haram. Jika ia menghalalkannya maka ia telah keluar dari Agama Islam” ( Lihat Fathu Al-Mughis li Al-Sakhowi, juz 1hal. 40-41).
Pendapat Imam Tajuddin As Subki
Al Imam Tajuddin As Subki berkata, “Sesungguhnya yang disebut muhaddits adalah mereka ya tahu assanid dan ilal, nama-nama rijal, (sanad) al ali dan an nazil, hafal banyak matan, menyimak Kutub As Sittah, Musnad Ahmad, Sunan Al Baihaqi, Mu’jam At Thabarani, dan digabungkan dengannya seribu juz dari kitab-kitab hadits. Ini adalah derajat terendah.”
Tajuddin As Subki juga mengkritik kelompok yang mengira sebagai muhaddits dengan hanya mengkaji Masyariq Al Anwar As Saghani dan Mashabih Al Baghawi, dengan mengatakan,”Hal itu tidak lain karena mereka jahil terhadap hadits. Walau mereka hafal dua kitab itu di luar kepala dan digabungkan kepadanya dua kitab semisalnya, belum menjadi muhaddits, dan tidak akan pernah menjadi muhaddits, hingga onta masuk ke lubang jarum.”
Beliau melanjutkan, “Demikian pula, jika kelompok tersebut mendakwa sampai kepada derajat tinggi hadits dengan mengkaji Jami’ Al Ushul Ibnu Atsir, dengan ditambah Ulum Al Hadits Ibnu Shalah dan Taqrib wa At Taisir Imam An Nawawi, dan sebagainya. Kemudian menyeru, “barang siapa sampai derajat ini, maka ia adalah muhaddits dari para muhadditsun atau Bukhari zaman ini,” dan dengan lafadz-lafadz bohong sepertinya. Sesungguhnya yang kami sebutkan ini tidak dihitung sebagai muhaddits.
(Tajuddin As Subki dalam Kitab Mu’id Anni’am wa Mubid Anniqam)
Peringatan Keras Para Ulama terhadap Orang yang Mengaku – ngaku telah memahami Hadits
Penyandang gelar ini adalah ‘Para Muhaddits’ generasi awal seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i, Imam Ibn Majah, Imam Daruquthni, Imam Al-Hakim Naisaburi, Imam Ibn Hibban dan lain-lain.
Sehingga apakah tidak terlalu berlebihan (atau bahkan termasuk Ghuluw -pent) dengan menyamakan mereka (Imam Bukhari, Imam Muslim, imam Abu Dawud dkk -pent) dengan sebagian Syeikh yang tidak pernah menulis hadits, membaca, mendengar, menghafal, meriwayatkan, melakukan perjalanan mencari hadits atau bahkan memberikan kontribusi pada perkembangan Ilmu hadits yang mencapai seribu karangan lebih !?!!. Sehingga bukan Sunnah Nabi yang dibela dan ditegakkan, malah sebaliknya yang muncul adalah fitnah dan kekacauan yang timbul dari pekerjaan dan karya-karyanya, sebagaimana contoh-contoh diatas.
Syeikh Abdul Ghofar seorang ahli hadits yang bermadzhab Hanafi menukil pendapat Ibn Asy-Syihhah ditambah syarat dari Ibn Abidin Dalam Hasyiyah-nya, yang dirangkum dalam bukunya ‘Daf’ Al-Auham An-Masalah AlQira’af Khalf Al-Imam’, hal. 15: ”Kita melihat pada masa kita, banyak orang yang mengaku berilmu padahal dirinya tertipu. Ia merasa dirinya diatas awan, padahal ia berada dilembah yang dalam. Boleh jadi ia telah mengkaji salah satu kitab dari enam kitab hadits (kutub As-Sittah), dan ia menemukan satu hadits yang bertentangan dengan madzhab Abu Hanifah, lalu berkata buang- lah madzhab Abu Hanifah ke dinding dan ambil hadits Rasulallah saw.. Padahal hadits ini telah mansukh atau bertentangan dengan hadis yang sanad nya lebih kuat dan sebab lainnya sehingga hilanglah kewajiban mengamalkan- nya. Dan dia tidak mengetahui. Bila pengamalan hadis seperti ini diserahkan secara mutlak kepadanya maka ia akan tersesat dalam banyak masalah dan tentunya akan menyesatkan banyak orang ”.
1. Al-Hafidz Ibn Abdil Barr meriwayatkan dalam Jami’ Bayan Al-Ilmu, juz 2 hal. 130, dengan sanadnya sampai kepada Al-Qodhi Al-Mujtahid Ibn Laila bahwa ia berkata: ”Seorang tidak dianggap memahami hadits kalau ia mengetahui mana hadits yang harus diambil dan mana yang harus ditinggal kan”.
2. Al-Qodhi Iyadh dalam Tartib Al-Madarik, juz 2hal. 427; Ibn Wahab berkata: ”Kalau saja Allah tidak menyelamatkanku melalui Malik Dan Laits, maka tersesatlah aku. Ketika ditanya, mengapa begitu, ia menjawab, ‘Aku banyak menemukan hadits dan itu membingungkanku. Lalu aku menyampaikannya pada Malik dan Laits, maka mereka berkata : ‘Ambillah dan tinggalkan itu’ ”.
3. Imam Malik berpesan kepada kedua keponakannya (Abu Bakar dan Ismail, putra Abi Uwais); ”Bukankah kalian menyukai hal ini (mengumpulkan dan mendengarkan hadits) serta mempelajarinya?, Mereka menjawab: ‘Ya’, Beliau berkata: Jika kalian ingin mengambil manfaat dari hadits ini dan Allah menjadi- kannya bermanfaat bagi kalian, maka kurangilah kebiasaan kalian dan pelajari- lah lebih dalam”. Seperti ini pula Al-Khatib meriwayatkan dengan sanadnya dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqih juz II hal. 28.
4. Al-Khotib meriwayatkan dalam kitabnya Faqih wa Al-Mutafaqih, juz II hal.15-19, suatu pembicaraan yang panjang dari Imam Al-Muzniy, pewaris ilmu Imam Syafi’i. Pada bagian akhir Al-Muzniy berkata: ”Perhatikan hadits yang kalian kumpulkan.Tuntutlah Ilmu dari para fuqoha agar kalian menjadi ahli fiqh”.
5. Dalam kitab Tartib Al-Madarik juz Ihal. 66, dengan penjelasan yang panjang dari para Ulama Salaf tentang sikap mereka terhadap As-Sunnah, antara lain:
a. Umar bin Khattab berkata diatas mimbar: ”Akan kuadukan kepada Allah orang yang meriwayatkan hadits yang bertentangan dengan yang diamalkan.
b. Imam Malik berkata: ”Para Ahli Ilmu dari kalangan Tabi’in telah menyampaikan hadits-hadits, lalu disampaikan kepada mereka hadits dari orang lain, maka mereka menjawab: ‘Bukannya kami tidak tahu tentang hal ini, tetapi pengamalannya yang benar adalah tidak seperti ini’ ” .
c. Ibn Hazm berkata: Abu Darda’ pernah ditanya: ”Sesungguhnya telah sampai kepadaku hadits begini dan begitu (berbeda dengan pendapatnya-pent). Maka ia menjawab: ‘Saya pernah mendengarnya, tetapi aku menyaksikan pengamal annya tidak seperti itu’ ” .
d. Ibn Abi zanad, “Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan para Ulama dan Fuqoha untuk menanyai mereka tentang sunnah dan hukum-hukum yang di amalkan agar beliau dapat menetapkan. Sedang hadits yang tidak diamalkan akan beliau tinggalkan, walaupun diriwayatkan dari para perawi yang ter- percaya”. Demikian perkataan Qodhi Iyadh.
e. Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hambali dalam Kitabnya Fadhl ‘Ilm As-Salaf ‘ala Kholaf’ hal.9, berkata: “Para Imam dan Fuqoha Ahli Hadits sesungguhnya mengikuti hadits shohih jika hadits itu diamalkan dikalangan para Sahabat atau generasi sesudahnya, atau sebagian dari mereka. Adapun yang disepakati untuk ditinggalkan, maka tidak boleh diamalkan, karena tidak akan meninggalkan sesuatu kecuali atas dasar pengetahuan bahwa ia memang tidak diamalkan”.
Sehingga cukuplah hadits dari Baginda Nabi saw. berikut ini untuk mengakhiri kajian kita ini, agar kita tidak menafsirkan sesuatu yang kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya: Artinya : ”Akan datang nanti suatu masa yang penuh dengan penipuan hingga pada masa itu para pendusta dibenarkan, orang-orang yang jujur didustakan; para pengkhianat dipercaya dan orang-orang yang amanah dianggap khianat, serta bercelotehnya para ‘Ruwaibidhoh’. Ada yang bertanya: ‘Apa itu ‘Ruwaibidhoh’? Beliau saw. menjawab: ”Orang bodoh pandir yang berkomentar tentang perkara orang banyak” (HR. Al-Hakim jilid 4 hal. 512 No. 8439 — ia menyatakan bahwa hadits ini shohih; HR. Ibn Majah jilid 2 hal. 1339 no. 4036; HR. Ahmad jilid 2 hal. 219, 338 No. 7899,8440; HR. Abi Ya’la jilid 6 hal. 378 no. 3715; HR. Ath-Thabrani jilid 18 hal. 67 No. 123; HR. Al-Haitsami jilid 7 hal. 284 dalam Majma’ Zawa’id).
Perhatikan peringatan Al-Hafidz Ibn Abdil Barr berikut: ”Dikatakan oleh Al-Qodhi Mundzir, bahwa Ibn Abdil Barr mencela dua golongan, yang pertama, golongan yang tenggelam dalam ra’yu dan berpaling dari Sunnah, dan kedua, golongan yang sombong yang berlagak pintar padahal bodoh ” (menyampai- kan hadits, tetapi tidak mengetahui isinya -pent) (Dirangkum dari Jami’ Bayan Al-Ilm juz IIhal. 171).
Syeikhul Islam Ibn Al-Qoyyim Al-Jawziyah berkata dalam I’lamu Al-Muwaqqi’in juz Ihal. 44, dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata: ”Jika seseorang memiliki kitab karangan yang didalamnya termuat sabda Nabi saw. perbedaan sahabat dan tabi’in, maka ia tidak boleh mengamalkan dan menetapkan sekehendak hatinya sebelum menanyakannya pada Ahli Ilmu, mana yang dapat diamalkan dan mana yang tidak dapat diamalkan, sehingga orang tersebut dapat meng- amalkan dengan benar”. Allah Maha Mengetahui.
Source: Habib Munzier Almusawwa, ahmadbinhanbal.wordpress.com, Syekh Sayyid Ali Assaqof
https://generasisalaf.wordpress.com/2013/04/06/mengenal-gelar-ahli-hadits/
Kapankah Seorang disebut Muhaddits?
Jum'at, 25 April 2014 - 04:16 WIB
Muhaddits adalah siapa yang tahu asanid, ilal, nama-nama rijal, (sanad) al ali dan an nazil, hafal banyak matan, menyimak Kutub As Sittah, Musnad Ahmad, Sunan Al Baihaqi, Mu’jam At Thabarani, digabungkan dengan 1000 juz kitab-kitab hadits. Dan ini derajat terendah
Kapankah Seorang disebut Muhaddits?
Terkait
Saat Kebaikan Mayat Disebut-sebut (2)
Orientalis Tak Bisa Disebut Orang Berilmu
Ciri Seorang Muslim adalah Mencintai Ilmu
Inilah 8 Muhaddits Hebat dari Indonesia
SEJUMLAH pihak bermudah-mudah menggelari beberapa orang dengan gelar “al muhaddits”. Atau bahkan lebih dari itu, dengan julukan lebih, “muhaddits abad ini”, padahal yang bersangkutan belum tentu memiliki periwayatan hadits, tidak menyimak hadits dari para perawi dan muhadditsun sebelumnya, atau mungkin hanya memperoleh ijazah dalam kitab-kitab tertentu saja.
Sebenarnya, syarat apa yang harus dipenuhi, hingga seseorang layak memperoleh gelar al muhaddits? Tentu, jawabannya kita kembalikan kepada kriteria yang ditetapkan para huffadz dan muhaditsun mengenai mereka yang layak disebut muhaddits.
Muhaddits sendiri secara bahasa adalah orang yang meriwayatkan (rawi) hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. (Mu’jam Al Wasith, hal.160). Namun, dalam ilmu musthalah al hadits, ditetapkan syarat, hingga seorang perawi disebut muhaddits.
Berikut ini, penulis ketengahkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang hingga ia bisa disebut sebagai muhaddits, dengan merujuk kajian yang telah ditulis oleh Al Hafidz As Suyuthi dalam Muqadimah Tadrib Ar Rawi, (hal. 29-35).
Tatkala berbicara mengenai tingkatan penguasaan dalam ilmu hadits, Al Hafidz As Suyuthi telah membahas masalah ini dengan penjang lebar, ketika menyebutkan kriteria hafidz, muhaddits dan musnid, dengan menyampaikan, ”Ketahuilah bahwa derajat terendah dari ketiganya adalah musnid, yakna siapa yang meriwayatkan hadits dengan isnad-nya, baik dia memiliki ilmu tentang hadits atau hanya sekedar meriwayatkan. Adapun muhaddits lebih tinggi dari hal ini.”
Beliau juga menukil pendapat Taj bin Yunus dalam Syarh At Ta’jiz, tentang siapa itu muhaddits, ”Siapa yang memiliki ilmu mengenai penetapan hadits dan keadilan para perawinya, karena siapa yang hanya terbatas menyimak saja, maka ia tidak termasuk alim.”
Az Zarkasyi juga menyebutkan, ”Adapun bagi para fuqaha’, muhaddits untuk mereka secara mutlak tidak diberikan, kecuali kepada mereka yang hafal matan hadits dan memiliki ilmu mengenai jarh dan ta’dil para perawinya, dan tidak hanya sebatas meriwayatkan.
Dari beberapa paparan tersebut, menyimak merupakan syarat seseorang dalam ilmu hadits, baik musnid, muhaddits, atau hafidz. Namun, muhaddits lebih tinggi tingkatannya dibanding musnid, karena muhaddits harus memiliki pengetahuan menganai jarh wa ta’dil.
Akan tetapi, dalam keterangan di atas tidak disebutkan secara terperinci berapa jumlah hadits yang harus disimak dan dihafal, serta tingkatan pengetahuan mengenai rijal al hadits. Keterangan lebih jelas mengenai syarat-syarat seorang bisa disebut muhaddits dijelaskan oleh Tajuddin As Subki, dalam Mu`id An Ni’am, ”Sesungguhnya muhaddits adalah siapa yang tahu asanid dan ilal, nama-nama rijal, (sanad) al ali dan an nazil, hafal banyak matan, menyimak Kutub As Sittah, Musnad Ahmad, Sunan Al Baihaqi, Mu’jam At Thabarani, dan digabungkan dengannya seribu juz dari kitab-kitab hadits. Ini adalah derajat terendah.”
Muhaddits Perlu Menyimak
Kemudian As Subki melanjutkan, ”Jika ia menyimak apa yang telah kami sebutkan, dan mencatat thabaq (tingkatan para perawi), serta berkeliling kepada para syeikh (perawi), kemudian berbicara tentang ilal, wafayat dan masanid, maka ia berada dalam derajat muhaditsin tingkat pertama”.
Sebelumnya Tajuddin As Subki juga mengkritik kelompok yang mengira sebagai muhaddits dengan hanya mengkaji Masyariq Al Anwar As Saghani dan Mashabih Al Baghawi, dengan mengatakan, ”Hal itu tidak lain karena mereka jahil terhadap hadits. Walau mereka hafal dua kitab itu di luar kepala dan digabungkan kepadanya dua kitab semisalnya, belum menjadi muhaddits, dan tidak akan pernah menjadi muhaddits, hingga onta masuk ke lubang jarum.”
Beliau melanjutkan, ”Demikian pula, jika kelompok tersebut mengklaim sampai kepada derajat tinggi hadits dengan mengkaji Jami’ Al Ushul Ibnu Atsir, dengan ditambah Ulum Al Hadits Ibnu Shalah dan Taqrib wa At Taisir Imam An Nawawi, dan sejenisnya. Kemudian menyeru, ‘barangsiapa sampai derajat ini, maka ia adalah muhaddits dari para muhadditsun atau Bukhari zaman ini,’ dan dengan lafadz-lafadz bohong sejenisnya. Sesungguhnya yang kami sebutkan ini tidak dihitung sebagai muhaddits.”
Walhasil, muhadits menurut tradisi para ulama hadits adalah mereka yang kemampuannya lebih tinggi daripada musnid yang sekedar meriwayatkan namun tidak memiliki ilmu mengenai jarh wa ta’dil dan lainnya. Dan merupakan bencana dalam dunia ilmu hadits, jika seseorang belum layak disebut musnid, tapi sudah melompat menjadi muhaddits.*
http://www3.hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2014/04/25/20589/belum-musnid-tapi-sudah-muhaddits.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar