Rabu, 10 Desember 2014

Salah Paham Wahabi Soal Semua Bid'ah Sesat


أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)



Salafi Wahabi menterjemahkan hadits di atas secara kaku. Menurut mereka semua bid'ah itu pasti sesat dan semua yang sesat masuk neraka.

Padahal baik sahabat mau pun ulama Salaf seperti Imam Syafi'ie menyatakan ada Bid'ah Hasanah. Bid'ah yang baik. 
Contohnya saat mengumpulkan orang2 untuk sholat Tarawih berjama'ah di masjid, dengan lantang Khalifah Umar bin Khoththob ra berkata: Inilah sebaik-baik bid'ah. Begitu pula saat membukukan Al Qur'an, Khalifah Abu Bakar ra bersama Umar bin Khoththob ra sepakat itu adalah bid'ah yang baik. Jadi keliru sekali jika Salafi Wahabi menganggap semua bid'ah itu buruk dan masuk neraka. Berarti pemahaman mereka tidak sesuai dengan pemahaman para sahabat dan ulama Salaf yang asli.
Dari Abdurrahman bin Abdul Qori yang menjelaskan: “Pada salah satu malam di bulan Ramadhan, aku berjalan bersama Umar (bin Khattab). Kami melihat orang-orang nampak sendiri-sendiri dan berpencar-pencar. Mereka melakukan shalat ada yang sendiri-sendiri ataupun dengan kelompoknya masing-masing. Lantas Umar berkata: “Menurutku alangkah baiknya jika mereka mengikuti satu imam (untuk berjamaah)”. Lantas ia memerintahkan agar orang-orang itu melakukan shalat dibelakang Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, kami kembali datang ke masjid. Kami melihat orang-orang melakukan shalat sunnah malam Ramadhan (tarawih) dengan berjamaah. Melihat hal itu lantas Umar mengatakan: “Inilah sebaik-baik bid’ah!” ((ni'matul bid’ah hadzihi))” (Shahih Bukhari jilid 2 halaman 252, yang juga terdapat dalam kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik halaman 73).

Di situ Umar ra menyatakan di depan para sahabat bahwa ada Bid'ah yang baik! Ada bid'ah hasanah. Jadi keliru sekali jika menganggap tidak ada bid'ah hasanah. Semua bid'ah sesat dan masuk neraka.

"Dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata: "Abu Bakar mengirimkan berita kepadaku tentang korban pertempuran Yamamah, setelah orang yang hafal Al-Qur'an sejumlah 70 orang gugur. Kala itu Umar berada di samping Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar mengatakan "Umar telah datang kepadaku dan ia mengatakan: "Sesungguhnya pertumpahan darah pada pertempuran Yamamah banyak mengancam terhadap para penghafal Al-Qur'an. Aku khawatir kalau pembunuhan terhadap para penghafal Al-Qur'an terus-menerus terjadi di setiap pertempuran, akan mengakibatkan banyak Al-Qur'an yang hilang. Saya berpendapat agar anda memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-Qur'an". Aku (Abu Bakar) menjawab: "Bagaimana aku harus melakukan suatu perbuatan sedang Rasul SAW tidak pernah melakukannya?". Umar r.a. menjawab: "Demi Allah perbuatan tersebut adalah baik". Dan ia berulangkali mengucapkannya sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana ia melapangkan dada Umar. Dalam hal itu aku sependapat dengan pendapat Umar.
Zaid berkata: Abu Bakar mengatakan: "Anda adalah seorang pemuda yang tangkas, aku tidak meragukan kemampuan anda. Anda adalah penulis wahyu dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu telitilah Al-Our'an dan kumpulkanlah....!" Zaid menjawab: "Demi Allah andaikata aku dibebani tugas untuk memindahkan gunung tidaklah akan berat bagiku jika dibandingkan dengan tugas yang dibebankan kepadaku ini".
Saya mengatakan: "Bagaimana anda berdua akan melakukan pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasululah SAW?". Abu Bakar menjawab: "Demi Allah hal ini adalah baik", dan ia mengulanginya berulangkali sampai aku dilapangkan dada oleh Allah SWT sebagaimana ia telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar.
Selanjutnya aku meneliti dan mengumpulkan Al-Qur'an dari kepingan batu, pelepah kurma dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur'an, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat At-Taubah dari Abu Khuzaimah Al-Anshary yang tidak terdapat pada lainnya (yaitu):
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat baginya apa yang kamu rasakan, ia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan) maka katakanlah: Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung. (At-Taubah: 128-129). [HR Bukhari]

Di hadits di atas, Abu Bakar ra, Umar bin Khoththob ra, dan Zaid bin Tsabit ra sepakat bahwa pembukuan Al Qur'an itu adalah bid'ah. Tidak pernah dilakukan di zaman Nabi. Namun mereka kemudian yakin itu adalah Bid'ah yang baik. Bid'ah Hasanah!

Ada pun pembukuan hadits lebih parah lagi. Bukan sekedar bid'ah. Tapi Nabi memang melarangnya:
Rasulullah saw bersabda:

لاَ تَكْتُبُوْا عَنِّى شَيْئًا إِلاَّ الْقُرْآنَ فَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ (أخرجه أحمد رقم 11362 ومسلم رقم 3004 وأبو يعلى رقم 1209 والدارمى رقم 450 وابن حبان رقم 6254) .

“Janganlah kalian menulis sesuatu dari saya kecuali al-Quran. Barang siapa yang menulis dari saya selain al-Quran, maka hapuslah” (HR Ahmad No 11362, Muslim No 3004, Abu Ya’la No 1209, ad-Darimi No 450 dan Ibnu Hibban No 6254)

Meski banyak hadits yang menyebut Nabi melarang sahabat menulis Hadits. Hanya boleh menulis Al Qur'an. Toh larangan tsb tidak mutlak dijauhi. Di hadits lain Nabi mengizinkannya. Dan para sahabat juga ada yang menulis hadits dengan pertimbangan maslahat ummat:

Namun Rasulullah Saw memberi keringanan kepada seorang sahabat yang minta dituliskan hadis-hadis Rasulullah Saw, yaitu saat Nabi berkhutbah dalam haji perpisahan;
قَامَ أَبُو شَاهٍ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ اكْتُبُوا لِى يَا رَسُولَ اللَّهِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اكْتُبُوا لأَبِى شَاهٍ . قُلْتُ (الوليد) لِلأَوْزَاعِىِّ مَا قَوْلُهُ اكْتُبُوا لِى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هَذِهِ الْخُطْبَةَ الَّتِى سَمِعَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم (رواه البخارى 2434 ومسلم 3371)
“Lalu Abu Syah, seorang lelaki dari Yaman berkata: “Tuliskanlah untuk saya, wahai Rasulullah!” Rasulullah Saw bersabda: “Tuliskanlah untuk Abu Syah!”. al-Walid (perawi) bertanya: “Apa yang ia maksud dengan perkataannya “Tuliskanlah untuk saya, wahai Rasulullah!”. Auzai menjawab: “Yaitu khutbah yang ia dengar dari Rasulullah” (HR al-Bukhari No 2434 dan Muslim No 3371)
Sebagaimana diketahui, keringanan ini oleh Rasulullah ditujukan kepada Abu Syah. Namun beberapa sahabat yang lain memiliki beberapa catatan yang berisi hadis-hadis Rasulullah Saw, seperti riwayat berikut:
عَنْ عَلِىٍّ رضى الله عنه قَالَ مَا كَتَبْنَا عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم إِلاَّ الْقُرْآنَ ، وَمَا فِى هَذِهِ الصَّحِيفَةِ (رواه البخارى 3179)
“Dari Ali, ia berkata: Kami tidak menulis dari Rasulullah Saw kecuali al-Quran dan hal-hal yang ada dalam lembaran ini (hadis yang menjelaskan tentang perjanjian sesama muslim, luas Madinah dan sebagainya)…” (al-Bukhari No 3179)
Begitu pula dari Abu Hurairah, ia berkata:
يَقُولُ اَبُوْ هُرَيْرَةَ مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّى ، إِلاَّ مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلاَ أَكْتُبُ  (رواه البخارى 113)
“Tidak ada dari sahabat-sahabat Nabi Saw yang hafal hadis lebih banyak dari saya, selain dari Abdullah bin Amr (bin Ash). Sebab dia menulis dan saya tidak menulis” (al-Bukhari 113)

Jadi menulis Hadits itu sebenarnya dilarang Nabi. Toh jika itu mutlak dijalankan, tidak akan ada Sahih Bukhari, Sahih Muslim, dsb. Ummat Islam tidak akan punya pegangan hadits sekarang jika menerapkan hadits secara kaku.

Bid'ah itu kata benda. Yang namanya benda, itu punya sifat. Baik atau buruk. Nah yang dilarang Nabi itu bid'ah yang buruk. Jika bid'ah baik, ya tidak dilarang. Sebaliknya sesuatu yang lama jika buruk, ya harus ditinggalkan. Misalnya sya'i dengan bertelanjang sebagaimana dilakukan kaum Jahiliyyah.

Loh KULLU itu kan artinya SEMUA, kata mereka. Meski benar begitu, kenyataannya para sahabat dan Imam Syafi'ie menyatakan ada bid'ah yang baik bukan? Ikuti pemahaman mereka.

Tidak selalu arti KULLU itu adalah SEMUA atau SELALU. Itu hanya secara umum/garis besar saja.
Contoh:

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ

“… dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup…” [Al Anbiyaa’ 30]
Meski di situ disebut dgn memakai kata KULLU yang artinya SEMUA, nyatanya jin diciptakan dari api dan malaikat dari Nur/cahaya. Jadi Kullu di situ bersifat umum saja. Tetap ada perkecualiannya.



Salah satu asma Allah adalah Al Baadi'.

 البديع  

Maha Pencipta. Pembuat Bid'ah. Jadi kalau bilang semua bid'ah itu masuk neraka, ya salah. Kita semua ini bid'ah. Apa kita semua sesat dan masuk neraka?

Pernyataan kalau tidak terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits itu berarti bid’ah, sesat, dan masuk neraka juga keliru. Sebab dalam Islam dikenal IJTIHAD jika sesuatu tak tercantum dalam Al Qur’an dan Hadits.

“Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal, bahwa pada saat Rasulullah saw mengutusnya ke negeri Yaman, beliau saw bertanya: “Bagaimana kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepada sebuah masalah?”. Muadz menjawab, “Saya memutuskan dengan Kitab Allah”. Nabi saw bertanya lagi, “Jika kamu tidak menemukan di dalam Kitab Allah?”. Muadz menjawab, “Dengan Sunnah Rasulullah saw”. Kembali, Nabi bertanya, “Jika kamu tidak menemukan di dalam Sunnah?”. Dia menjawab, “Saya melakukan ijtihad dan tidak bertindak sewenang-wenang”. Kemudian, Muadz bercerita, “Rasulullah saw menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah dengan sesuatu (keputusan) yang diridhai Rasulullah saw”. (Sunan al-Darimi, 168)

Dalam Mazhab Syafi’ie, selain Al Qur’an dan Hadits ada pula Ijma’ Ulama (Ijtihad) dan Qiyas
“Diriwayatkan dari ‘Amr bin Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda, “Apabila seorang hakim memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim itu memutuskan perkara, lalu berijtihad dan hasilnya salah, maka baginya satu pahala (pahala ijtihadnya)”. (Musnad Ahmad bin Hambal, 17148).

Ada 3 hadits yang menceritakan bagaimana 3 sahabat melakukan hal yang baru yang tidak pernah dikerjakan dan diajarkan Nabi, namun Nabi tidak menuduhnya sebagai bid’ah yang sesat. Justru Nabi memujinya.
Mungkin ada yang bilang, ah itu kan di zaman Nabi dan sudah dapat persetujuan Nabi.
Namun banyak juga hal baru / bid’ah seperti pembukuan Al Qur’an di zaman Khalifah Abu Bakar, Sholat Tarawih berjama’ah 23 roka’at di zaman Khalifah Umar, penyusunan Mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’ie, dan Hambali, serta pembukuan Kitab Hadits (yang pernah dilarang Nabi) oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, dsb.
Jadi adakah semua hal yang baru adalah bid’ah yang sesat?
Yang haram/dosa adalah mengolok2/menghina sesama Muslim serta menimbulkan fitnah dan perpecahan:
Hadis pertama: Seseorang tiba di mesjid kemudian ia masuk kedalam shaf shalat. Ia tergopoh-gopoh karena mengejar shalat. Kemudian ia berkata:”Alhamdulillah hamdan kathiron thayyiban mubaarokan fiihi.”Ketika sholat selesai Rasulullah bertanya:”siapa yang mengucapkan kata-kata tadi?” Sahabat tidak ada yang menjawab. Kemudian Rasulullah saw mengulangi pertanyaanya: ”Siapa yang mengucapkan kata-kata tadi, Ia tidak mengucapkan sesuatu yang jelek. ” Seseorang menjawab: ”Saya tiba di masjid dan khawatir tertinggal shalat, maka saya mengucapkannya. ” Rasulullah berkata: ”Saya melihat dua belas malaikat berlomba siapa di antara mereka yang mengangkatnya.” (HR Muslim No. 600)
Hadis Kedua: Ibnu Umar berkata: ketika kami sedang shalat bersama Rasulullah saw tiba-tiba ada seseorang yang mengucapkan: ” Allahu-akbar kabiroo, walhamdu-lillahi katsiroo, wa subhanallahi bukrotaw-waashilaa.” Kemudian Rasulullah saw bertanya: ”kalimat zikir tadi, Siapa yang mengucapkannya ?” salah seorang menjawab; “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata: ”Aku mengaguminya, dibukakan pintu langit bagi kalimat tersebut!”(HR Muslim no.601)
Hadis Ketiga: Seseorang dari kaum Anshar menjadi imam di masjid Quba. Ia selalu membaca surat al Ikhlas sebelum membaca surat lain setelah al-Fatihah. Ia melakukannya setiap rakaat. Jamaah masjid menegurnya: ”Kenapa anda selalu memulainya denga al-Ikhlas, bukankah surat al-Ikhlas cukup dan tidak perlu membaca surat lain, atau engkau memilih cukup membaca al-Ikhlas atau tidak perlu membacanya dan cukup surat lain. Ia menjawab: Saya tidak akan meninggalkan surat al-Ikhlas, kalau kalian setuju saya mengimami dengan membaca al-Ikhlas maka saya akan mengimami kalian, tapi kalau kalian tidak setuju maka saya tidak akan jadi imam. Mereka tahu bahwa orang ini yang paling baik dan tidak ingin kalau yang lain mengimami shalat. Ketika Rasulullah datang mengunjungi, mereka menyampaikan hal ini kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw bertanya pada orang tersebut; ”Apa yang membuatmu menolak saran teman-temanmu? Dan Apa yang membuatmu selalu membaca surat al-Ikhlas setiap rakaat?” Ia menjawab: ”Saya mencintainya (al-Ikhlas). Rasulullah berkata: ”Kecintaanmu terhada surat al-ikhlas memasukanmu kedalam syurga!” (HR Bukhori no.741)

Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan bahwa contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat , baik atau buruk,  ke dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ وَأَبِي الضُّحَى عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ الْعَبْسِيِّ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ نَاسٌ مِنْ الْأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ الصُّوفُ فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ قَدْ أَصَابَتْهُمْ حَاجَةٌ فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَةِ فَأَبْطَئُوا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ قَالَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُوا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir bin ‘Abdul Hamid dari Al A’masy dari Musa bin ‘Abdullah bin Yazid dan Abu Adh Dhuha dari ‘Abdurrahman bin Hilal Al ‘Absi dari Jarir bin ‘Abdullah dia berkata; Pada suatu ketika, beberapa orang Arab badui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian dari bulu domba (wol). Lalu Rasulullah memperhatikan kondisi mereka yang menyedihkan. Selain itu, mereka pun sangat membutuhkan pertolongan. Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan para sahabat untuk memberikan sedekahnya kepada mereka. Tetapi sayangnya, para sahabat sangat lamban untuk melaksanakan anjuran Rasulullah itu, hingga kekecewaan terlihat pada wajah beliau. Jarir berkata; ‘Tak lama kemudian seorang sahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang sahabat yang turut serta menyumbangkan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-orang Arab badui tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)

Hadits di atas diriwayatkan juga dalam Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.

Arti kata sunnah dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah bukanlah sunnah Rasulullah atau hadits  atau sunnah (mandub) karena tentu tidak ada sunnah Rasulullah yang sayyiah, tidak ada hadits yang sayyiah dan tidak ada perkara sunnah (mandub) yang sayyiah

Jadi arti  kata sunnah dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru, sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya

Kesimpulannya,

Sunnah hasanah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah hasanah

Sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah dholalah.

Untuk ibadah2 yang sudah jelas dan ditentukan seperti sholat wajib ada 5 waktu, jika menambah jadi 6 waktu, nah itu baru bid'ah yang sesat. Tapi jika tidak, apalagi sebelumnya sudah ada perintah Allah misalnya untuk berzikir sebanyak2nya dan berdoa, itu tidak bid'ah selama dilakukan di waktu dan tempat yang tidak dilarang oleh Nabi. Sebab zikir itu boleh sebanyak2nya dan dilakukan dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring. Jadi bebas. Selama tidak mengganggu kewajiban2 lainnya seperti mencari nafkah.

http://staff.unila.ac.id/fosifpunila/2012/12/15/marilah-memahami-hadits-kullu-bidah-dengan-ilmu-balaghah-dan-nahwu/


https://aslibumiayu.wordpress.com/2012/08/15/semua-bidah-itu-sesat-tidak-ada-bidah-hasanah-dan-bidah-sayyiah/

http://kabarislamia.com/2012/11/08/jangan-sembarangan-menuduh-bidah/

http://hujjahnu.blogspot.com/2013/03/rasulullah-melarang-menulis-hadis.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar